Komunitas ini merupakan gabungan dua organisasi yaitu Papuan Voice Timika dan Lepemawi. Adapun topik diskusinya seputar situasi dan isu perempuan di Timika.
Diskusi itu menyimpulkan, hidup perempuan di Timika dan situasi yang melingkupinya masih harus mendapat perhatian dan advokasi.
"Contoh, budaya di sini yang masih kental patriarki. Situasi ini menyebabkan perempuan ditempatkan hanya pada urusan domestik. Urus rumah, rumah tangga. Padahal perempuan punya hak sama dengan laki-laki pada urusan publik," kata Adolfina Kuum dari Lepemawi.
Di dalam kontestasi politik katanya, kelompok perempuan khusunya perempuan Papua sering kali tersingkir karena budaya patriarki ini. Keluarga sebagai sumber utama dukungan politik biasanya lebih mendukung kandidat laki-laki.
"Padahal kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tinggi di Timika. Kita perlu wakil perempuan untuk mengadvokasi kepentingan anak dan perempuan di ranah politik dan kebijakan," katanya.
Helena Kobogau dari Papuan Voices menyoroti perusakan lingkungan dan hutan. Menurutnya, dalam kasus perusakan lingkungan, perempuan dan anak adalah kelompok paling rentan. Air bersih yang tercemar karena lingkungan yang rusak paling berdampak pada perempuan dan anak.
"Itu makanya kami selalu menyerukan untuk menyelamatkan perempuan di pesisir Timika dari kepungan limbah tailing PT Freeport," katanya.
Di akhir diskusi, Solidaritas Peduli Perempuan Timika menyusun poin-poin tuntutan sebagai berikut:
- Stop kekerasan terhadap perempuan Papua
- Stop kekerasan dalam rumah tangga
- Stop jual tanah karena tanah adalah mama yang memberikan kehidupan
- Stop miras karena dapat merusak masa depan generasi muda Papua
- Pemerintah dan Legislatif wajib menetapkan peraturan daerah tentang perdagangan ekonomi berbasis lokal di Timika
- Hentikan budaya patriarki dan berikan akses seluas-luasnya untuk perempuan Papua dalam partisipasi publik.
- Stop rusak hutan dan ilegal logging karena hutan adalah tabungan bagi generasi Papua. (Burhan)